Penulis: Ivan Irawan
Sekretaris Jenderal ICoPI
I. Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia modern, kepatuhan terhadap peraturan lalu lintas merupakan aspek krusial dalam menciptakan keselamatan dan ketertiban di jalan raya. Di Indonesia, penegakan hukum lalu lintas telah mengalami transformasi signifikan dengan mulai diperkenalkannya sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) di kota kota besar sepert Jakarta, Surabaya. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penindakan pelanggaran, mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pelanggar, serta meminimalisir praktik pungutan liar. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem ini dapat membentuk budaya baru di Indonesia, di mana masyarakat mematuhi peraturan lalu lintas tanpa kehadiran polisi, mirip dengan yang terjadi di Singapura? (Pinim, F. H., Pawennei, M., & Zainuddin, Z. (2022). “Efektivitas Penegakan Hukum Pelanggaran Lalu Lintas Melalui Tilang Elektronik: Studi Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan”. Journal of Lex Generalis (JLG), 3(8))
II. Pengertian Tilang Elektronik (ETLE)
Tilang Elektronik merupakan sistem penegakan hukum lalu lintas yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendeteksi pelanggaran secara otomatis dan memberikan sanksi tanpa memerlukan interaksi langsung antara petugas dan pelanggar. Sistem ini menggunakan perangkat seperti kamera pengawas, sensor induksi magnetik, dan teknologi pengenalan plat nomor kendaraan (ANPR) untuk memantau dan merekam pelanggaran di jalan raya. Sistem Automatic Number Plate Recognition (ANPR) adalah teknologi yang digunakan dalam tilang elektronik (ETLE) untuk mengenali dan mencatat plat nomor kendaraan yang melanggar aturan lalu lintas. Sistem ini bekerja dengan mengidentifikasi plat nomor melalui kamera CCTV yang terhubung dengan perangkat lunak ANPR (Sutrisno, A. A. W. (2022). “Penegakan Hukum Lalu Lintas Melalui Sistem e-Tilang”. Jurnal Ilmu Kepolisian, 13(3).
Cara kerja ANPR dalam ETLE: (Kompas.com. 2020, Februari 12. Intip Kecanggihan Kamera Tilang Elektronik di Jakarta).
1. Perekaman Plat Nomor, dimana kamera CCTV mendeteksi dan merekam gambar kendaraan yang melanggar, termasuk plat nomornya.
2. Pengenalan Plat Nomor, dengan menggunakan algoritma pengenalan karakter optik (OCR) untuk mengenali dan membaca teks pada plat nomor.
3. Identifikasi Pelanggaran, jika plat nomor dikenali, sistem akan membandingkannya dengan data pelanggaran yang telah ada dalam sistem ETLE.
4. Pencetakan Tilang, apabila plat nomor tersebut terdeteksi melanggar, maka sistem akan mencetak surat tilang dan mengirimkannya ke alamat pemilik kendaraan.
Manfaat ANPR dalam ETLE:
a. Efisiensi, karena ANPR dapat mengidentifikasi pelanggaran lalu lintas secara otomatis dan cepat, tanpa perlu intervensi petugas secara langsung.
b. Objektivitas, dimana sistem ANPR memastikan penegakan hukum yang lebih objektif dan tidak diskriminatif.
c. Jangkauan, karena ETLE yang menggunakan ANPR dapat menjangkau lebih luas dan efektif dalam menindak pelanggaran lalu lintas di berbagai lokasi.
Contoh Implementasi ANPR dalam ETLE:
Sistem ETLE menggunakan kamera CCTV yang dipasang di berbagai titik strategis, seperti jalan raya utama, perempatan, dan tempat-tempat yang rawan terjadi pelanggaran lalu lintas. Kamera ini dilengkapi dengan teknologi ANPR untuk mendeteksi pelanggaran, seperti melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, atau kecepatan
Di Indonesia, penerapan ETLE telah dimulai di beberapa kota, termasuk Jakarta, Jogyakarta dan Surabaya. Misalnya, di Jakarta, terdapat lebih dari 100 kamera ETLE yang tersebar di berbagai titik strategis, seperti persimpangan lampu merah dan jalan utama. Sistem ini mampu mendeteksi pelanggaran seperti tidak memakai helm, melanggar aturan ganjil-genap, dan penggunaan ponsel saat berkendara. Setiap pelanggaran yang terdeteksi akan langsung diproses dan dikirimkan surat tilang elektronik kepada pemilik kendaraan .
III. Pemanfaatan ETLE di Berbagai Negara
1. Singapura: Sistem Penegakan Hukum yang Efektif
Singapura dikenal dengan sistem lalu lintas yang sangat tertib, sebagian besar berkat penerapan teknologi canggih dalam penegakan hukum. Salah satu contohnya adalah penggunaan kamera pengawas yang terhubung dengan sistem pengenalan plat nomor untuk mendeteksi pelanggaran seperti melanggar lampu merah dan batas kecepatan. Setiap pelanggaran yang terdeteksi langsung diproses dan denda dikirimkan kepada pelanggar. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi penegakan hukum, tetapi juga menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas.
2. Arab Saudi: Sistem Saher
Arab Saudi telah menerapkan sistem ETLE yang dikenal dengan nama Saher. Sistem ini menggunakan kamera digital yang terhubung dengan database nasional untuk mendeteksi pelanggaran seperti kecepatan berlebih, tidak memakai sabuk pengaman, dan penggunaan ponsel saat berkendara. Setelah pelanggaran terdeteksi, pemilik kendaraan akan menerima pemberitahuan melalui pesan teks mengenai jenis pelanggaran dan jumlah denda yang harus dibayar. Sistem ini telah terbukti efektif dalam mengurangi angka kecelakaan lalu lintas di negara tersebut .
3. Turki: Sistem TEDES
Turki mengimplementasikan sistem ETLE yang disebut TEDES (Trafik Elektronik Denetleme Sistemi). Sistem ini menggabungkan kamera kecepatan, kamera lampu merah, dan teknologi pengenalan plat nomor untuk mendeteksi pelanggaran lalu lintas. Setelah pelanggaran terdeteksi, surat tilang dikirimkan kepada pemilik kendaraan melalui pos, disertai dengan bukti foto pelanggaran. Pendapatan dari denda pelanggaran dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah kota, yang memberikan insentif bagi pemerintah kota untuk meningkatkan pemasangan kamera ETLE di wilayah mereka .
(Al-Debei, M. M., & Al-Lozi, E. M. (2012). “Implementations of ICT Innovations: A Comparative Analysis in terms of Challenges between Developed and Developing Countries. arXiv”)
III. Praktik Terbaik dalam Penerapan ETLE
Beberapa praktik terbaik yang dapat diadopsi dari negara-negara tersebut antara lain:
• Integrasi Teknologi Tinggi: Penggunaan kamera dengan teknologi pengenalan plat nomor dan sensor canggih untuk mendeteksi pelanggaran secara akurat.
• Sistem Pemberitahuan Otomatis: Mengirimkan pemberitahuan pelanggaran dan denda secara otomatis kepada pelanggar melalui berbagai saluran, seperti pesan teks atau email.
• Pembagian Pendapatan Denda: Membagi pendapatan dari denda pelanggaran antara pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong pemerintah daerah meningkatkan penegakan hukum lalu lintas.
• Edukasi dan Sosialisasi: Melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas dan dampak dari pelanggaran.
• Evaluasi dan Peningkatan Sistem: Melakukan evaluasi secara berkala terhadap efektivitas sistem ETLE dan melakukan perbaikan jika diperlukan.
(Scheibner, J., Ienca, M., Sleigh, J., & Vayena, E. (2021). “Benefits, Challenges and Contributors to Success for National eHealth Systems Implementation: A Scoping Review”. arXiv)
IV. Tilang Elektronik: Inovasi dalam Penegakan Hukum Lalu Lintas
Tilang elektronik merupakan sistem penindakan pelanggaran lalu lintas yang memanfaatkan teknologi informasi, seperti kamera pengawas dan aplikasi digital, untuk mendeteksi dan menindak pelanggaran secara otomatis. Penerapan ETLE di Indonesia dimulai dengan pemasangan kamera di beberapa titik strategis, seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Sistem ini memungkinkan petugas untuk merekam pelanggaran, mengirimkan surat tilang kepada pelanggar, dan memproses pembayaran denda secara online tanpa perlu bertemu langsung dengan petugas.
Keuntungan utama dari sistem ini antara lain:
a. Mengurangi Interaksi Langsung: Meminimalisir peluang terjadinya praktik pungutan liar (pungli) oleh oknum petugas.
b. Efisiensi Waktu dan Biaya: Proses penindakan dan pembayaran yang lebih cepat dan praktis.
c. Transparansi dan Akuntabilitas: Bukti pelanggaran yang terekam secara digital meningkatkan kejelasan dan keadilan dalam proses hukum.
V. Tantangan dalam Implementasi Tilang Elektronik
Meskipun memiliki potensi besar, penerapan ETLE di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, antara lain:
1. Infrastruktur yang Belum Merata: Tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas dan teknologi yang memadai untuk mendukung sistem ini. Beberapa wilayah, terutama di daerah terpencil, masih kesulitan dalam mengakses teknologi digital yang diperlukan untuk ETLE .
2. Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat: Banyak masyarakat yang belum memahami cara kerja sistem ETLE dan pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas. Tanpa edukasi yang memadai, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan lalu lintas tetap rendah .
3. Adaptasi Hukum dan Regulasi: Regulasi yang ada perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Penyusunan aturan baru serta penyesuaian prosedur hukum yang ada agar selaras dengan teknologi yang digunakan sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang responsif .
(Rahmat, A., & Pribadi, U. (2021). “Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Penegakan Hukum Lalu Lintas Elektronik di Wilayah Yogyakarta: Upaya dan Tantangan.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science)
V. Budaya Patuh Tanpa Pengawasan Polisi: Apakah Mungkin?
Di Singapura, budaya tertib berlalu lintas telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini tercapai melalui kombinasi antara penegakan hukum yang tegas, edukasi yang berkelanjutan, dan kesadaran kolektif masyarakat. Masyarakat Singapura mematuhi peraturan lalu lintas bukan karena takut ditilang, tetapi karena kesadaran akan pentingnya keselamatan dan ketertiban Bersama (Mothership.sg (2018). “This is how powerful car license plate recognition tech already is in S’pore.”)
Di Indonesia, meskipun sistem ETLE telah diterapkan, tantangan besar tetap ada. Seperti yang terjadi di beberapa daerah, setelah dihapuskannya tilang manual, muncul fenomena masyarakat yang berani melanggar aturan lalu lintas karena merasa tidak ada petugas yang mengawasi secara langsung . Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat masih bergantung pada kehadiran petugas, bukan pada kesadaran intrinsic (Nugroho, A. S. (2024). “Implementasi E-TLE Mobile sebagai Difusi Inovasi, Interoperabilitas Menuju E-TLE Nasional.” Jurnal Ilmu Kepolisian)
Untuk membentuk budaya patuh tanpa pengawasan polisi, diperlukan pendekatan yang holistik, antara lain:
i. Edukasi dan Sosialisasi: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya mematuhi peraturan lalu lintas melalui kampanye yang efektif.
ii. Peningkatan Infrastruktur: Memastikan bahwa teknologi dan fasilitas yang mendukung ETLE tersedia secara merata di seluruh wilayah.
iii. Keterlibatan Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga ketertiban lalu lintas melalui berbagai program dan kegiatan.
VI. Kesimpulan
Penerapan sistem Tilang Elektronik (ETLE) telah terbukti efektif dalam meningkatkan penegakan hukum lalu lintas dan menurunkan angka pelanggaran di berbagai negara. Dengan mengadopsi praktik terbaik dari negara-negara tersebut, Indonesia dapat meningkatkan efektivitas sistem ETLE dan menumbuhkan budaya tertib berlalu lintas di masyarakat. Namun, keberhasilan sistem ini juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur yang memadai, kesadaran masyarakat, dan komitmen dari semua pihak terkait untuk bersama-sama menciptakan lalu lintas yang aman dan tertib.
Pemanfaatan ETLE di Indonesia merupakan langkah maju dalam penegakan hukum lalu lintas yang lebih modern dan efisien. Namun, untuk mewujudkan budaya patuh tanpa kehadiran polisi, diperlukan upaya bersama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Hanya dengan kesadaran kolektif dan partisipasi aktif, budaya tertib berlalu lintas seperti yang ada di Singapura dapat terwujud di Indonesia, karena transformasi ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang perubahan pola pikir (mindset) dan perilaku masyarakat dalam menghargai keselamatan dan ketertiban bersama di jalan raya.