CHANGE MANAGEMENT REFORMASI

Pajak merupakan salah satu urat nadi penerimaan negara yang sangat besar kontribusinya bagi pembangunan nasional. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pemungut pajak, aparat perpajakan membutuhkan strategi agar masyarakat dapat mematuhi ketentuan peraturan perundang undangan yang diberlakukan dan juga suatu proses bisnis yang mumpuni sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan terkait permasalahan pajak.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai tugas mengumpulkan penerimaan negara yang terus bertambah untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka mewujudkan tujuan negara masyarakat adil dan makmur. Selain itu, DJP mengadministrasikan Wajib Pajak beserta data informasi yang terkait Wajib Pajak yang jumlahnya semakin bertambah.

Salah satu proses bisnis analisis yang sedang dikembangkan oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) adalah Compliance Risk Management (CRM) yang dapat berfungsi sebagai policy driver dalam bentuk decision-making tool dengan pendekatan berbasis risiko untuk memastikan proses bisnis yang relevan dapat terukur dan efisien. Saat ini, CRM tengah dikembangkan, berkaitan dengan proses bisnis pemeriksaan dan pengawasan, ekstensifikasi, penagihan, keberatan dan banding, serta penyuluhan dan pelayanan. Perjalanan uji coba CRM telah dimulai tahun 2015 dan dilanjutkan kembali di tahun 2017. Kemudian dilanjutkan pada tahun 2019 dan terus disempurnakan sampai dengan tahun 2021 dan tahun tahun berikutnya, dimana CRM telah dimanfaatkan untuk alat pengambilan keputusan yang berbasis risiko. Dalam menentukan tingkat risikonya, semua Wajib Pajak diurutkan berdasarkan skor dan level risikonya. Dengan menggunakan daftar tingkat risiko Wajib Pajak yang telah disusun berdasarkan rankin tersebut, proses bisnis terkait dapat menetapkan mana Wajib Pajak yang diprioritaskan untuk ditangani. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan bahwa penegakan kepatuhan terutama terkait pengawasan dan penegakan hukum akan dilakukan berdasarkan tingkat risiko dari penerimaan dan profil dari tax payer tersebut.

Disini diharapkan peran CRM sebagai decision-making tool dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan DJP dalam pengawasan dan penegakan hukum berbasis risiko wajib pajak. Dengan demikian bagi pengambil keputusan , peran dan kegunaan CRM layak untuk dinanti khususnya dalam hal penegakan kepatuhan Wajib Pajak.

DJP terus melakukan upaya inovasi untuk mengawal pencapaian target penerimaan pajak, dan salah satunya adalah melalui pengimplentasian CRM yang dimulai pada tahun 2019, dan menjadi satu di antara sejumlah proses bisnis yang diperbaharui dalam reformasi perpajakan DJP. Pada saat itu, CRM yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2019 hanya terbatas pada kegiatan ekstensifikasi,pemeriksaan, penagihandan pengawasan. Namun di tahun 2021, diperbarui melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2021, CRM diperluas fungsinya, sehingga mencakup pula pelayanan, edukasi perpajakan, dan transfer pricing.

Menurut SE-39/PJ/2021, CRM didefinisikan sebagai suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif, dan berulang dalam rangka mendukung pengambilan keputusan terbaik DJP. Pengertian CRM sejalan dengan definisi dalam ISO3 7301 yakni pengelolaan risikokepatuhan yang dilakukan dengan mengidentifikasi, menilai, dan memprioritaskan risiko kepatuhan. Implementasi CRM secara umum merupakan proses penggunaan mesin penentu risiko yang menghasilkan peta risiko kepatuhan wajib pajak untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam perencanaan kegiatan dan menentukan prioritas tindakan dalam proses bisnis.

Bagi Pemerintah, penerapan CRM membantu menghindarkan institusi dan aparat dari mengambil langkah yang tidak produktif, misalnya: memitigasi melakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang patuh sehingga menghasilkan ketetapan yang tidak material (tidak sebanding dengan biaya operasional). Apabila dilihat sekilas, CRM sepertinya hanya bermanfaat bagi DJP selaku otoritas pajak. Namun jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya CRM juga membawa manfaat bagi wajib pajak,yang dapat dinikmati oleh wajib pajak, antara lain:

1.Menghasilkan rekomendasi perlakuan yang berbeda antara wajib pajak dengan tingkat kepatuhan tinggi dan rendah. Dengan adanya CRM, DJP dapat memetakan wajib pajak berdasarkan risiko kepatuhannya,sehingga memberikan kemudahan bagi DJP. Hal ini akan memudahkan wajib pajak terutama yang memiliki risiko kepatuhan rendah atau yang tergolong telah patuh yang tidak akan masuk ke dalam prioritas tindakan-tindakan yang tergolong penegakan hukum seperti pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan. Perlakuan ini membuat Wajib Pajak dapat menghemat sumber daya yang mungkin timbul akibat pelaksanaan penegakan hukum.

2.Sementara itu di sisi lain, hasil pemetaan kepatuhan wajib pajak dapat dikembangkan menjadi acuan pemberian fasilitas perpajakan tertentu. Dalam hal ini wajib pajak yang patuh akan menerima manfaat lebih dari kebijakan tersebut.

3. Pelayanan DJP menjadi lebih tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. CRM membantu untuk membuat segmentasi wajib pajak.yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan DJP.

4.Membagi wajib pajak ke dalam kelompok-kelompok dengankarakteristik yang sama berfungsi untuk memudahkan DJP dalam memahami kebutuhan penerima layanannya. Dengan CRM, DJP dapat mengetahui wajib pajak yang masih memerlukan asistensi dalam memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya, serta menyajikan data wajib pajak yang harus diedukasi. Asistensi dan edukasi berpeluang untuk tidak tepat sasaran apabila tanpa data: karena diberikan kepada yang sudah memiliki pemahaman mumpuni, dan tidak diberikan kepada yang belum memahami.

5.CRM memberikan bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk memperbarui aturan pajak agar lebih berkeadilan. Regulasi merupakan satu dari lima pilar reformasi perpajakan yang sedang berlangsung di jajaran DJP. Perbaikan dan penyempurnaan regulasi diperlukan untuk membenahi tata kelola administrasi dan regulasi yang duplikasi, tumpang tindih, memperkuat aturan existing, dan memberikan penegasan pada aturan yang multitafsir sehingga tidak salah dipahami. Kehadiran sistem manajemen ini memberikan bahan pertimbangan dalam penyusunan aturan-aturan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi. Dengan regulasi baru yang dikembangkan dari peta risiko CRM, wajib pajak akan mendapatkan perlakuan yang sama dan lebih berkeadilan. Dengan begitu, para wajib pajak akan memberikan fair share (bagian yang wajar) atas cost of government (biaya pemerintah) (Suasa, dkk., 2021).

6.Memanfaatkan CRM sebagai sistem reward and punishment membantu meningkatkan keadilan pajak (tax equity) yang merupakan salah satu aspek penting dalam sistem pemungutan pajak.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa CRM bukan sekadar alat untuk mencapai target penerimaan, tetapi juga menghasilkan penggalian potensi yang lebih terarah, dimana Wajib Pajak mendapatkan perlakuan sesuai dengan tingkat risikonya.

Sampai dengan saat ini, CRM terus dikembangkan karena tentunya masih terbuka luas ruang untuk perbaikan dan penyempurnaan yang berkelanjutan sesuai prinsip ISO. Harapannya, inovasi ini dapat mengarahkan DJP pada visinya, yaitu menyelenggarakan administrasi perpajakan.

Saat ini sistem administrasi terus dikembangkan untuk mampu mengadministrasikan Wajib Pajak dan data tersebut. Disamping itu diperlukan strategi yang sesuai untuk melakukan pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum yang lebih efektif dan efisien sesuai dengan tingkat risiko dan kepatuhan Wajib Pajak yang bersangkutan. Strategi yang dimaksud berupa implementasi compliance risk management dan business intelligence.

Compliance risk management merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara sistematis, terukur, objektif dan berulang dalam rangka membentuk risk engine (mesin penentu risiko) untuk mendukung pengambilan keputusan di DJP secara lebih efisien dan efektif. Mesin penentu risiko digunakan dalam pembobotan risiko untuk menghasilkan level risiko yang ditampilkan dalam bentuk peta risiko kepatuhan Wajib Pajak.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-24/PJ/2019 tentang Implementasi Compliance Risk Management dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak, saat ini DJP telah mengimplementasikan CRM. Namun seiring dengan kebutuhan untuk melakukan percepatan implementasi CRM pada seluruh proses bisnis di DJP, perlu dilakukan penambahan implementasi pada fungsi pelayanan dan fungsi edukasi perpajakan, serta penyempurnaan pada fungsi pengawasan, pemeriksaan dan penagihan berupa implementasi compliance risk management transfer pricing, yang didukung oleh business intelligence. Implementasinya diarahkan untuk otomatisasi dan mempertahankan nilai tambah atas proses tersebut. Penambahan dan penyempurnaan tersebut dilakukan untuk mendorong pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum yang lebih efektif dan efisien.

Selain untuk mendukung implementasinya dalam menyusun prioritas rencana tindakan, implementasi business intelligence dapat digunakan pada setiap tahap pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pengawasan, pemeriksaan, penagihan. Business intelligence menghasilkan output yang terintegrasi dengan seluruh keputusan strategis dalam setiap proses bisnis di DJP. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk mendorong kepatuhan dan mencegah ketidakpatuhan Wajib Pajak berdasarkan perilakunya serta mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki DJP, perlu terus menerus dilakukan penyempurnaan aturan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak mengenai implementasi compliance risk management dan business intelligence, sehingga proses perbaikan terus berkelanjutan.

Referensi

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telahbeberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
10. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 49 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak.
11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 577/KMK.01/2019 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan.
12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2016 tentang Standar Pelayanan di Tempat Pelayanan Terpadu Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2017.
13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2021 tentang Edukasi Perpajakan.
14. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 702/PJ/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Manajemen Risiko di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2015 tentang Pedoman Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Data.
16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2016 tentang Pengawasan Wajib Pajak Melalui Sistem Informasi.
17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan.
18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2019 tentang Tata Cara Ekstensifikasi.
19. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ/2020 tentang Kebijakan Pengawasan dan Pemeriksaan Wajib Pajak dalam Rangka Perluasan Basis Pajak.
20. Website Ditjen Pajak.go.id.
21. Jatmiko, A. (2023, 24 Agustus). Mengenal CRM, Alat DJP Pastikan Kepatuhan Pajak. [Tidak ada informasi sumberspesifik, diasumsikan dari website DJP].
22. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-24/PJ/2019 (10 September 2019). websitedatacenter.ortax.org
23. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE – 39/PJ/2021 (13 Juli 2021). websitedatacenter.ortax.or
24. Newsletter Change Management Reformasi Perpajakan #5/2019. “Compliance Risk Management Tunjang Pengambilan Keputusan DJP”. [Tidak ada informasi sumber spesifik, diasumsikan dari internal DJP atau Kemenkeu].
25. C.A., N. G. (2024, 12 Juli). Apa itu Peta Risiko Kepatuhan Terkait CRM. news.ddtc.co.id