Penulis: Drs. Agus Subrata, MM, AAAIK, QRGP, ANZIIF ( Associate )
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti
Komisaris Independen PT. Bess Central Insurance
Anggota ICoPI

 

Peristiwa bencana alam di Indonesia

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat selama tahun 2018, aktivitas gempa di Indonesia meningkat drastis. Jumlah gempa itu mencapai ribuan kali. Berdasarkan data gempa di Pusat Gempa Nasional BMKG, selama tahun 2018 di wilayah Indonesia terjadi aktivitas gempa sebanyak 11.577 kali dalam berbagai magnitudo dan kedalaman. Bila dibandingkan dengan tahun 2017, jumlah aktivitas gempa terjadi hanya 6.929 kali, ini berarti selama tahun 2018  terjadi peningkatan jumlah aktivitas gempa yang drastis di Indonesia, yaitu meningkat sebanyak 4.648 kejadian gempa tektonik.

Selanjutnya data dari BMKG menyebutkan bahwa  aktivitas gempa di Indonesia di tahun 2018 ini didominasi oleh gempa dangkal kurang dari 60 km yang terjadi 9.585 kali, gempa kedalaman menengah antara 61-300 km terjadi 1.856 kali dan gempa hiposenter dalam di atas 300 km hanya terjadi 136 kali. Tingginya aktivitas gempa bumi di Indonesia selama tahun 2018 tersebut disebabkan karena adanya beberapa gempa kuat dan diikuti rangkaian gempa susulan yang terjadi berkali-kali.

Beberapa gempa bumi yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan kerugian baik  kehilangan jiwa maupun kerusakan materi yang tidak sedikit. Gempa-gempa besar selama tahun 2018, diantaranya:

  1. Gempa Lebak pada 23 Januari 2018, magnitudo 6,1, merusak 1.231 rumah, 1 orang meninggal, dan beberapa orang luka-luka.
  2. Gempa Lombok pada bulan Juli dan Agustus 2018, magnitudo 5.8 – 7.00,  merusak ribuan bangunan dan menyebabkan orang meninggal dunia. Total korban meninggal gempa Lombok mencapai lebih dari 555 orang.
  3. Gempa Donggala-Palu 28 September 2018, magnitudo 7,5, menyebabkan bangunan rusak dan orang meninggal dunia. Total dampak gempa bumi di Donggala dan Palu yang disertai tsunami dan likuefaksi ini mencapai lebih dari 2.000 orang meninggal, lebih dari 1000 orang hilang dan ribuan bangunan rusak parah diantaranya sekitar 2.000 bangunan sekolah hancur , jembatan dan bangunan-bangunan pemerintah  rusak parah. Sedangkan rumah-rumah penduduk yang hancur  mencapai 60.000 unit dan harus direkonstruksi kembali secara total.

Pada tahun 2018 ini BMKG juga mencatat telah terjadi bencana tsunami sebanyak 3 kali, diantaranya :

  1. Tsunami saat terjadi gempa di Lombok 5 Agustus 2018, magnitudo7,0 dengan status ancaman Waspada, ketinggian tsunami kurang dari 50 cm.
  2. Tsunami saat terjadi Gempa Donggala-Palu pada 28 Sep 2018, magnitudo7,5 dengan status ancaman Siaga, tinggi tsunami 0,5 hingga 3 meter.
  3. Peristiwa tsunami Selat Sunda yang diduga kuat dipicu oleh longsornya lereng (flank collapse) Gunung Anak Krakatau. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho memberitahukan jumlah korban akibat tsunami Banten yang terjadi pada Sabtu (22/12/2018 ) sebanyak 426 orang meninggal dunia, korban luka-luka mencapai 7.202 orang, 23 orang hilang dan jumlah pengungsi 40.386 orang. Tak hanya korban jiwa, tsunami Selat Sunda pun ikut menghancurkan sejumlah bangunan. BNPB mencatat, 2.752 rumah rusak, 92 penginapan rusak, 510 perahu dan kapal rusak, 147 kendaraan rusak, 1 dermaga rusak, dan 1 shelter rusak.
    Wilayah yang terdampak meliputi lima kabupaten/kota yang terdampak, antara lain Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Pesawan.

 

Letak geografis Indonesia

Tingginya frekuwensi gempa bumi di Indonesia ini bisa dimaklumi karena Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Pelepasan energi tersebut menimbulkan berbagai dampak terhadap daratan yaitu munculnya percepatan gelombang seismic yang bisa menimbulkan peristiwa tsunami.

 

Dampak Kerusakan Bencana terhadap Perekonomian

Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani Indrawati  dalam Rapat Kerja (Raker) Gubernur Seluruh Indonesia di Jakarta tahun 2018 ini mengatakan bahwa bencana dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan dalam perekonomian. Menkeu memberikan contoh bagaimana bencana seperti peristiwa tsunami di Aceh dan gempa di Jogjakarta berpengaruh terhadap perekonomian, yaitu potensi hilangnya Pendapatan Domestik Bruto. Gempa di Indonesia bisa berpotensi menyebabkan hilangnya GDP  sampai 3%.

Kantor Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatat bahwa antara tahun 2004 hingga 2013, Indonesia mengalami total kerugian akibat bencana sebesar Rp. 126,7 triliun. Sementara itu, rata-rata kerugian ekonomi langsung tahunan dari tahun 2000 hingga 2016 yang dikarenakan kerusakan bangunan dan non-bangunan mencapai Rp. 22,85 triliun. Pulau Jawa, Sumatera bagian barat, dan beberapa wilayah di Sulawesi terpapar risiko kerugian ekonomi yang besar.

Besarnya risiko bencana berbeda di masing-masing wilayah karena perbedaan konsentrasi aset (rumah sakit, gedung sekolah, dan gedung pemerintah) dan jumlah penduduk. Apabila gempa bumi yang cukup besar melanda Jakarta maka kerugian ekonomi yang ditimbulkan diperkirakan bisa mencapai Rp. 13,24 Triliun, sedangkan bencana di Papua diperkirakan akan mengakibatkan kerugian ekonomi yang lebih kecil. Namun demikian, perbedaan tingkat kerugian ini tidak akan membedakan kebijakan tanggap bencana oleh pemerintah.

Selama 12 tahun terakhir, alokasi anggaran negara untuk dana kontingensi bencana sekitar Rp. 4 triliun setiap tahun. Jumlah ini hanya sebesar 20% dari nilai kerugian ekonomi yang dialami. Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk menyediakan dana kontijensi setiap tahun ini menyebabkan kesenjangan pembiayaan menjadi semakin besar. Apabila tidak segera ditangani, Pemerintah akan menghadapi risiko fiskal yang sangat besar.

Kajian secara ekonomi atas dampak bencana ini menunjukan bahwa  bencana yang terjadi bisa mempengaruhi pada sumber daya lokal. Apabila sumber daya tersebut berkurang maka daerah tersebut akan berusaha mencari pemenuhannya dengan meminta bantuan ke tingkat nasional sehingga  pada akhirnya menjadi beban  perekonomian Negara.

Bencana alam juga menbawa pengaruh negative terhadap pembangunan dan dapat menyusutkan kapasitas produksi dalam skala besar yang berakibat pada kerugian financial. Bencana membutuhkan pemulihan, rehabilitas dan rekontruksi agar kehidupan ekonomi kembali normal. Semua itu memiliki konsekuensi pembiayaan yang sering kali melebihi kemampuan ekonomi daerah yang dilanda bencana sehingga bagi negara-negara yang keuangannya terbatas akan berpotensi menambah hutang Negara.

Selain itu, bencana dapat menghentikan laju perkonomian terutama bagi para korban meskipun bersifat sementara terutama yang dampak kerugiannya significant mencapai angka triliunan rupiah, contohnya adalah  uang yang seharusnya digunakan sebagai pembangunan digunakan untuk membantu para korban bencana yang telah kehilangan harta benda sehingga pemerintah harus mengeluarkan dana APBN/ APBD yang cukup besar untuk menganti semuanya itu.

Bencana juga mempengaruhi harga komoditas pangan dan energi yang terus naik. Ini  akan memicu terjadinya inflasi, sementara daya beli masyarakat tidak bertambah malah cenderung menurun. Permasalahan berikutnya yaitu memungkinkan akan banyak perusahaan-perusahaan yang menopang kehidupan masyarakat setempat di lokasi bencana  kesulitan beroperasi  dan  gulung tikar sehingga  dapat mengakibatkan pengganguran meningkat. Akibat lain  bencana adalah  membuat kerusakan jalan yang merupakan akses terpenting untuk lajunya ekonomi. Infrastruktur jalan yang hancur mengakibatkan permasalahan logistik, banyak barang yang tidak dapat dikirim. Ujung-ujungnya daerah yang tidak mendapat supply  akan terjadi kelangkaan barang sehingga memicu inflasi.

 

DAFTAR REFERENSI

  1. Orasi Ilmiah, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM)-Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan RI, Bapak Parjiono, PhD, pada acara Wisuda STMA Trisakti, 13 Desember 2018, Gedung Bidakara, Jakarta
  2. http://www.bnpb.go.id
  3. http://www.bmkg.go.id
  4. https://www.ojk.go.id
  5. http://www.munawarkasan.com/index.php/artikel-asuransi/54-menarik-pelajaran-asuransi-dari-gempa-jepang
  6. http:/ www.aaui.or.id
  7. https://www.liputan6.com
  8. http://www.idntimes.com
  9. https://www.cnbcindonesia.com