Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Institute of Compliance Professional Indonesia (ICoPI)
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

 

Seiring dengan keharusan adanya direktur kepatuhan di industri perasuransian per akhir tahun 2019 (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian), banyak pertanyaan timbul apa sebetulnya nilai tambah fungsi kepatuhan secara umum, dan mengapa perlu seorang direktur untuk menangani fungsi tersebut.

Menjawab pertanyaan di atas, tidak dapat terlepas dari konteks semakin cepat dan banyaknya ragam tren perubahan regulasi yang terjadi baik di tingkat global, regional maupun nasional suatu negara. Hal ini membuat para pengambil keputusan di korporasi – terutama direksi menghadapi tantangan serius untuk membangun kesiapan organisasi mereka terhadap tren perubahan regulasi regulasi tersebut.

Berbagai survey – terutama global survey PwC tahun 2015 mengenai fungsi dan peran kepatuhan sudah memberikan indikasi akan terjadinya semacam ‘over-regulations’ dengan dampak yang besar terhadap kemampuan korporasi dalam mencapai atau menjalankan strategi korporasi mereka. Hasil survey ini senada dengan kekhawatiran di tingkat regional ASIA di mana penulis mendapat kesempatan bertukar pikiran dan pandangan dengan beberapa wakil negara-negara ASIA yang menjadi anggota “ASIA NETWORK On CORPORATE GOVERNANCE – OECD” di Manila – Filipina tanggal 4-5 September 2019.

 

Bagaimana dengan di Indonesia?

Sementara perkembangan di tingkat tataran praktis dan empiris masih sangat bervariasi antara satu industri dengan industri lain, dan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, regulator industri jasa keuangan – yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah yang patut diapresiasi dengan mengharuskan industri perasuransian memiliki direktur kepatuhan sebagaimana industri perbankan memulainya lebih dari satu dekade lalu.

Terlepas dari debat dan perbedaan pandangan terhadap keputusan OJK tersebut, kebutuhan hadirnya peran kepatuhan di tingkat strategis korporasi tidak dapat disangkal lagi. Dalam hal ini, korporasi – khususnya perasuransian perlu memahami dan mempersiapkan kapasitas dan kompetensi fungsi kepatuhan mereka dalam konteks strategis. Dengan kapasitas dan kompetensi strategis tersebut, fungsi kepatuhan dapat berkontribusi banyak dalam mendorong pertumbuhan perusahaan dengan cara melakukan navigasi kompleksitas risiko dan regulasi secara proaktif, sehingga perusahaan selalu lebih siap menghadapi perubahan regulasi sedini mungkin.

 

Peran Direktur Kepatuhan – konteks strategis

Menghadapi tuntutan dan harapan agar fungsi kepatuhan memberikan nilai tambah strategis di atas, diperlukan pimpinan fungsi kepatuhan setingkat direktur sehingga peran dan fungsi mereka masuk secara penuh dalam tataran pengambilan keputusan strategis korporasi.

Untuk itu, seorang direktur kepatuhan diharapkan tidak hanya terlibat dalam penyelesaian permasalahan tradisional kepatuhan perusahaan yang bersifat ‘ad-hoc’, legalistik dan defensif/pasif saja. Tetapi sebaliknya, mereka dituntut untuk lebih banyak dan lebih mampu dalam penciptaan ‘nilai’ perusahaan yang sedikitnya dapat diperoleh melalui beberapa hal sebagai berikut:

  • Secara aktif melibatkan diri dalam pengambilan keputusan mengenai strategi perusahaan, dan secara proaktif memberikan masukan strategis – dari perspektif kepatuhan kepada rekan direksi lainnya.
  • Melakukan kaji ulang rencana strategi perusahaan dan mengembangkan ide untuk mempersiapkan perusahaan dalam manangani potensi risiko kepatuhan yang baru (atau belum umum), atau bahkan memanfaatkannya dalam rangka membangun keunggulan bersaing perusahaan.
  • Membentuk hubungan kerja yang erat dengan para pimpinan bisnis utama perusahaan dan menawarkan bantuan kepada mereka untuk melakukan identifikasi risiko kepatuhan yang dapat terjadi di tingkat proses bisnis. Bila perlu, mendampingi mereka dalam proses pengembangan mitigasi risiko yang diharapkan.
  • Mendefinisikan ulang cakupan fungsi kepatuhan dalam organisasi sebagai lapis pertahanan kedua dan membangun kemitraan dengan para pemilik risiko kepatuhan (compliance risk owner) sebagai lapis pertahanan pertama. Hal ini diperlukan agar para pemilik risiko kepatuhan tersebut dapat memastikan bahwa semua isu mengenai kepatuhan dapat dikelola secara efektif di tingkat lapis pertama.
  • Mengembangkan dan menerapkan terus-menerus berbagai inisiatif yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi fungsi kepatuhan.

 

Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat bagi para praktisi kepatuhan terutama yang akan ditugaskan sebagai direktur kepatuhan dalam waktu dekat.