Penulis : Agustinus Haryono
Sekretaris Jenderal ICoPI

 

Program Etika Perusahaan dimulai sekitar tahun 1980 di Amerika Serikat dimana Kementerian Pertahanan mengeluarkan Defense Industry Initiative on Bussiness Ethics and Conduct, yang memberikan aturan mengenai prinsip untuk berbisnis secara etis dan juga pembuatan perilaku etis (code of conduct) serta pelaporan pelanggaran kepada yang berwajib.

Tahap perkembangan berikutnya adalah dikeluarkannya FSGO (Federal Sentencing Guidelines for Organizations) pada tahun 1991, yang bertujuan untuk memberikan panduan keputusan hukuman yang lebih objektif terhadap pelanggaran. Adapun caranya adalah dengan memberikan insentif hukuman yang lebih ringan bagi organisasi yang telah menerapkan program etika dengan baik dan memberikan hukuman yang lebih berat bagi perusahaan yang tidak melaksanakan program etika.

Skandal keuangan Enron pada awal tahun 2000 berakibat dikeluarkannya Sarbanes-Oxley Act (SOX) pada tahun 2002, yang salah satu pasalnya meminta agar perusahaan publik melaporkan adanya penerapan Code of Conduct. Pelaporan seperti ini akan mendorong keterbukaan dan upaya untuk mengurangi kecurangan serta korupsi.

Pada tahun 2004 dilakukan revisi terhadap FSGO yang isinya lebih menuntut perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan budaya perusahaan yang mendorong perilaku etis dan kepatuhan pada hukum. Pada revisi ini juga disarankan adanya pengawasan dari Direksi terhadap program etika perusahaan, pelatihan dan evaluasi terhadap karyawan, asesmen risiko internal dan eksternal serta pemantauan untuk meningkatkan budaya perusahaan yang etis.

Adapun kerangka kerja program etika perusahaan, dengan merujuk pada SOX dan FSGO yang sudah direvisi, Brewer, Chandler dan Ferrel pada tahun 2006 menyarankan delapan langkah untuk membuat kerangka kerja program etika yang efektif. Adapun kedelapan langkah tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Direksi hendaknya menciptakan pola kepemimpinan yang etis (Ethical Leadership).
    Keberhasilan program etika perusahaan sangat bergantung pada kepemimpinan yang efektif dan pada pelaksanaan corporate governance. Pemimpin perusahaan dalam hal ini Direksi dan Dewan Komisaris harus menjadi panutan (living example) untuk perilaku yang etis dan kepatuhan pada regulasi dan peraturan yang ditetapkan. Mereka harus sadar bahwa keberhasilan program ini menjadi tanggung jawab para pimpinan. Jadi selain harus menyediakan sumber daya yang memadai, juga harus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program etika perusahaan.
  1. Melakukan kajian risiko untuk mengungkapkan hal penting guna membantu pembuatan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) dan komponen-komponen lain dari program etika perusahaan.
    Proses pengkajian risiko ini akan mengungkapkan berbagai risiko yang khas pada masing-masing industri. Ada titik rawan yang spesifik pada tiap-tiap industri. Sebagai contoh pada industri keuangan sangat rawan dengan kecurangan (pemalsuan pencatatan, transaksi fiktif, dan lain-lain). Hal ini berbeda dengan industri manufaktur, misalnya yang rawan dengan penyuapan pada proses pembelian, pencemaran lingkungan dan lain-lain. Pemahaman akan titik-titik rawan risiko pelanggaran etika dan kepatuhan ini akan membantu dalam proses penyusunan panduan etika bisnis dan etika perilaku perusahaan terkait.
  1. Menerapkan pengawasan operasional oleh komite atau manajer etika atau manajer kepatuhan atau manajer sumber daya manusia. Program etika perusahaan yang efektif menuntut adanya penanggung jawab yang melakukan pengawasan dan pengelolaan pelaksanaan dengan ketat. Penanggung jawab ini dapat berupa komite atau seseorang dengan jabatan yang cukup tinggi dan punya akses langsung ke Direksi yang merupakan penanggung jawab tertinggi program. Penanggung jawab ini akan memastikan bahwa tiap tahapan pelaksanaan program etika perusahaan terlaksana dengan baik, mulai dari perencanaan, penyusunan panduan etika perusahaan, sosialisasi, pelatihan hingga penerapannya secara penuh. Jabatan ini merupakan jabatan purna waktu, yang bila proyek sudah selesai dan semuanya akan menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Penting untuk diperhatikan bahwa pejabat yang nantinya akan menjadi Manajer Etika dan Kepatuhan haruslah orang yang tidak punya rekam jejak buruk atau pernah terlibat dalam peristiwa pelanggaran etika atau pelanggaran kepatuhan.
  1. Mengembangkan dan membuat Pedoman Etika dan standar perilaku yang komprehensif.
    Pengembangan Panduan Etika Bisnis dan Etika Perilaku Perusahaan memperhatikan hasil kajian risiko sebelumnya, sehingga dapat diketahui perilaku karyawan bagaimana yang dikehendaki agar risiko tersebut tidak terjadi. Selain itu juga perlu diperhatikan nilai-nilai yang dianut perusahaan dalam membangun budaya dan prestasi perusahaan. Kedua hal ini spesifik bagi tiap perusahaan, sehingga apabila mencoba melakukan perbandingan dengan perusahaan lain dalam menyusun pedoman etika ini, maka dua hal ini harus diperhatikan.
    Selain bersifat anjuran, pedoman ini juga harus menetapkan secara tegas sanksi terhadap perilaku yang melanggar pedoman etika tersebut. Harus dicantumkan juga kemana harus bertanya bila menemui situasi yang meragukan atau kemana laporan harus disampaikan, bila ditemui pelanggaran. Review terhadap pedoman akan dilakukan secara berkala untuk mengadopsi perubahan lingkungan bisnis yang terjadi.
  1. Mengkomunikasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai, budaya dan standar perusahaan dan juga menerima masukan tentang harapan karyawan.
    Komunikasi dan sosialisasi dilaksanakan setelah Panduan Etika Bisnis dan Etika Perilaku Perusahaan selesai dibuat dan disahkan oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Komunikasi dan sosialisasi dilaksanakan dalam waktu yang khusus untuk seluruh karyawan perusahaan, karena pedoman ini berlaku untuk semua karyawan termasuk Direksi dan Dewan Komisaris tanpa kecuali. Pelaksanaannya adalah semacam training etika perusahaan.
    Perlu perencanaan yang baik untuk melaksanakan hal tersebut diatas, tanpa mengganggu proses bisnis. Pada saat pelatihan ini juga dibagikan buku Pedoman Etika Bisnis dan Etika Perilaku Perusahaan, untuk ditandatangani dan diserahkan lembar pernyataan karyawan untuk disimpan perusahaan. Harus dibuka cukup ruang untuk melakukan tanya jawab agar diperoleh pemahaman yang memadai untuk nilai-nilai perusahaan, penerapan etika perusahaan dalam praktik dan aspirasi karyawan terkait kedua hal tersebut.
  1. Membuat suatu sistem untuk memantau dan melaporkan pelanggaran.
    Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun sistem ini. Pertama adalah asesmen untuk menilai apakah program etika perusahaan ini berjalan dengan efektif dalam mencapai sasaran etika perusahaan yang diinginkan. Kedua adalah bagaimana memberikan rasa aman tanpa takut adanya pembalasan, apabila seseorang ingin melaporkan adanya pelanggaran. Tanpa adanya rasa aman dan perlindungan ini, maka tidak akan ada laporan pelanggaran etika.
  1. Menegakkan standar etika melalui mekanisme imbalan dan hukuman (reward and punishment) untuk mendukung pembentukan budaya perusahaan.
    Disiplin dalam menjalankan etika dan kepatuhan haruslah dikawal dengan sikap konsisten dalam menghadapi pelanggaran etika dan kepatuhan. Untuk itu penegakan etika dan kepatuhan harus ditegaskan dan dimasukan dalam kebijakan perusahaan, aturan dan prosedur. Tindakan mengurangi pelanggaran etika dan kepatuhan haruslah dianggap tidak berbeda dengan upaya untuk mengurangi biaya dan pemborosan guna meningkatkan laba perusahaan.
    Sanksi pelanggaran dapat mulai dari teguran, mutasi, demosi hingga pemecatan. Ini semua harus tertulis dalam aturan perusahaan untuk menghindari sengketa hukum tenaga kerja. Begitu pula dengan imbalan, dari pencantuman dalam penilaian kinerja, pemberian penghargaan untuk kinerja etika kepada kelompok atau individu yang menonjol, hingga penghargaan khusus atas kinerja etika yang luar biasa.
  1. Secara berkelanjutan melakukan perbaikan dan revisi program serta memantau perkembangan budaya perusahaan dan perilaku karyawan.
    Apabila hasil asesmen masih kurang memuaskan (penjelasan dari langkah ke 6) atau bahkan masih sering terjadi pelanggaran etika dan kepatuhan, ini menunjukan bahwa program etika perusahaan belum efektif. Perlu ditinjau ulang perbaikan apa yang harus dilakukan. Apakah sistem pelatihan dan komunikasi harus ditingkatkan ataukah sanksi perlu diperberat atau perlu dilakukan diskusi bersama lagi untuk mencari solusi yang optimal.
    Monitoring ini haruslah dilakukan secara berkala dan konsisten, karena selain masih timbul pelanggaran, situasi lingkungan bisnis juga selalu berubah, sehingga menimbulan tuntutan-tuntutan baru yang belum ditemui sebelumnya.

 

DAFTAR REFERENSI

Leo J. Susilo : Governance, Risk Management and Compliance, Executive’s Guide to Risk Governance and Risk Oversight.