Penulis: Drs. Agus Subrata, MM, AAAIK, QRGP, ANZIIF ( Associate )
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti
Komisaris Independen PT. Bess Central Insurance
Anggota ICoPI

 

Mitigasi Bencana

Tingginya potensi gempa bumi di wilayah Indonesia sepatutnya jangan sampai membuat masyarakat terus-menerus dicekam rasa takut dan khawatir berlebihan. Masyarakat harus terus meningkatkan kemampuan dalam memahami cara penyelamatan saat terjadi gempa bumi. Dalam hal ini patut kita mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan warga Jepang saat terjadi gempa Kobe 1995. Berdasarkan hasil penelitian,  warga Kobe yang selamat dari bencana tersebut karena upaya pertolongan sendiri (34.9%), pertolongan keluarga (31.9%), pertolongan teman atau tetangga (28.0%), pertolongan pejalan kaki (2.6%), pertolongan oleh tim penyelamat (1.7%), dan pertolongan lainnya  (0.9%).  Melihat data tersebut tampak bahwa upaya pertolongan sendiri (self assistance) menempati jumlah tertinggi. Ini cerminan bahwa masyarakat yang paham mitigasi akan memiliki peluang lebih besar selamat dari bencana.

Kesiapan masyarakat menghadapi bencana telah terbukti di negara Jepang sehingga dapat memperkecil risiko jumlah korban dan kerugian. Upaya mitigasi gempa bumi harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan komprehensif dengan melibatkan kerja sama multi-lintas disipliner, multi-lintas sektor, dan peran serta seluruh lapisan masyarakat, baik saat pra-bencana, saat terjadi bencana, dan pasca-bencana. Sistem mitigasi perlu lebih diefektifkan lagi, terutama untuk edukasi publik dan gladi evakuasi secara rutin, dengan penyiapan rencana kontinjensi terpadu antar pihak/lembaga dibawah koordinasi BNPB. Selanjutnya pengetatan/ pengawasan dalam penerapan building code dan penataan ruang di daerah rawan gempa perlu dilakukan, dengan mengacu pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa bumi tahun 2017 yang telah diterbitkan oleh Kementerian PUPR atas dukungan para pakar gempabumi.

 

Bercermin dari pengelolaan asuransi bencana di Jepang

Jepang dilanda gempa bumi dahsyat tahun 2011 berkekuatan  8,9 skala richter di wilayah pantai timur nya, disusul dengan datangnya  tsunami setinggi 10 meter yang meratakan sebagian datarannya terutama di kawasan Miyagi, Fukushima, Ibaraki dan Iwate. Peristiwa ini meluluh lantahkan fasilitas  pelabuhan dan kawasan Industri negeri Matahari ini. Jepang yang terdepan dalam teknologi sebenarnya sudah memiliki kemampuan mendirikan bangunan dan infrastruktur dengan teknologi tahan gempa dan juga  teknologi bendung laut untuk menghadang Tsunami, tapi pada kenyataanya  masih  tak berdaya menghadapi keperkasaan alam ini. Estimasi kerugian asuransi akibat gempa bumi di Jepang berdasarkan perhitungan catastrophe modeling yang dilakukan AIR Worldwide adalah berkisar US$ 14,5-34,6 miliar. Nilai ini belum termasuk kerusakan akibat tsunami dan rusaknya reaktor nuklir. Sebanyak  25% kerugian asuransi ditanggung oleh Japan Earthquake Reinsurance (JER). JER adalah perusahaan reasuransi Jepang yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asuransi di Jepang yang khusus memberikan jaminan kepada warganya dari risiko gempa bumi .

Sejak tahun 1966 Jepang  memiliki Law concerning Earthquake Insurance. Kini, untuk sebuah peristiwa gempa bumi dengan kerugian asuransi rumah tinggal hingga JPY 75 miliar akan ditanggung oleh JER. Di atas angka itu, pemerintah Jepang sudah ikut berkontribusi membantu asuransi membayar klaim.  Dengan Metode ini, peristiwa-peristiwa bencana besar di Jepang tidak mempengaruhi secara significant terhadap perekonomian Jepang.

Pemerintah Jepang menyadari risiko gempa bumi di Jepang sangat tinggi sehingga tidak membiarkan industri asuransi menanggung sendiri klaim. Makin besar kerugian akibat gempa bumi, maka prosentase yang ditanggung pemerintah juga bertambah besar. Total yang ditanggung bersama-sama antara JER dan pemerintah Jepang adalah JPY 5 triliun.
Pengelolaan asuransi gempa bumi sangat professional, meskipun sering terjadi gempa bumi, namun JER tetap untung. Rasio klaim yang secara sederhana diformulasikan dari perbandingan antara klaim dengan premi, tergolong bagus dan profitable.

 

Kesiapan asuransi nasional

Saat ini di Indonesia sudah banyak beridiri perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa serta perusahaan reasuransi sebagai supporting  kapasitas akseptasi perusahaan asuransi. Data OJK per Januari 2016, daftar Perusahaan Asuransi Umum, Jiwa, Reasuransi, Asuransi Wajib dan Asuransi Sosial di Indonesia,  sebagai berikut :

  1. Asuransi Umum , 76 Perusahaan
  2. Asuransi Jiwa, 50 Perusahaan
  3. Reasuransi, 6 Perusahaan
  4. Asuransi Wajib, 3 Perusahaan
  5. Asuransi Sosial, 2 Perusahaan

Berkaitan dengan risiko bencana, semua perusahaan-perusahaan asuransi di atas sudah memiliki kapasitas dan pengalaman yang mumpuni untuk men-underwrite risiko bencana baik dari sisi kerugian Properti ( Property Damage ) maupun kecelakaan diri/ jiwa ( Bodily injury/ life). Khusus untuk masalah asuransi gempa bumi, tahun 2001 industri asuransi Indonesia sudah  mulai  fokus dengan dibentuknya Pool Reasuransi Gempa Bumi (PRGBI) yang anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi umum dan reasuransi. Polis asuransi gempa bumi ini meng-cover risiko-risko akibat gempa bumi & tsunami, letusan gunung api, dan banjir.   Efektif mulai tanggal 1 Januari 2004 PRGBI berubah menjadi perusahaan swasta bernama PT Asuransi MAIPARK Indonesia ( MAIPARK ), dimana seluruh saham perusahaan dimiliki oleh perusahaan asuransi umum dan reasuransi Indonesia. Sejak saat itu pengelolaan asuransi gempa bumi di Indonesia mulai di-manage secara professional melalui  penataan tarif premi, polis Gempa bumi yang standar, pembagian zona gempa bumi, serta  khususnya data dan pemodelan klaim yang  jauh lebih bagus. Bahkan MAIPARK juga terlibat pada kegiatan penelitian, mitigasi terhadap masyarakat tentang bencana alam, mitigasi risiko dan juga banyak penelitian tentang standar building code yang aman dan tepat. Keberadaan MAIPARK hampir mirip dengan Japan Earthquake Reinsurance (JER) seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Sayangnya dari sisi pemerintah, asuransi belum menjadi bagian dari unsur mitigasi risiko bencana. Belum ada suatu perundang-undangan/ aturan atau kebijakan yang menyebutkan asuransi sebagai salah satu komponen metode mitigasi risiko. Hal inilah yang menyebabkan  ketidakpastian anggaran pemerintah pusat maupun daerah dalam mengalokasikan dana bantuan bencana. Akan berbeda tentunya apabila Pemerintah melakukan Risk transfer bencana melalui asuransi yang memungkinkan pemerintah menetapkan anggaran bencana  lebih pasti karena adanya kejelasan besaran premi asuransi yang harus dibayarkan dan penanganan kerugian/ klaim bencanayang akan dikelola sepenuhnya oleh perusahaan asuransi/ reasuransi melaui metode Risk Sharing.

Namun demikian, dengan adanya inisiatif Pemerintah  menyusun Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (Disaster Risk and Financing Insurance/ DRFI ) memberikan angin segar bagi industri asuransi untuk menyiapkan diri menjadi Partner Pemerintah dalam mengelola risko bencana alam di Indonesia. Idealnya memang seperti pengelolaan di Jepang, yakni perusahaan asuransi yang berada di pilar terdepan dalam mengganti kerugian. Ini artinya bahwa seluruh atau setidaknya mayoritas rumah dan tempat usaha penduduk Indonesia serta instansi pemerintah memiliki polis asuransi gempa bumi sehingga memenuhi bilangan besar (Law of Large number). Seperti halnya di Jepang, diharapkan Pemerintah berada di belakang industri asuransi dengan mem-back-up apabila jumlah  kerugian mencapai level nilai tertentu.

Jika hal ini terwujud maka setidak-tidaknya semua masyarakat Indonesia terproteksi dari kerugian akibat Bencana, Pemerintah pusat maupun daerah akan membuat anggaran penanggulangan bencana yang lebih pasti, penanganan kerugian Bencana akan lebih tepat sasaran karena  dikelola  tenaga-tenaga professional, dan Industri asuransi akan tumbuh lebih baik lagi dengan meningkatnya pendapatan premi yang significant. Pada akhirnya  Asuransi Bencana bila diterapkan untuk masyarakat Indonesia maka akan mengurangi dampak kerugian terhadap perekonomian nasional saat bencana tersebut menimpa.

 

DAFTAR REFERENSI

  1. Orasi Ilmiah, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM)-Kebijakan Fiskal, Kementrian Keuangan RI, Bapak Parjiono, PhD, pada acara Wisuda STMA Trisakti, 13 Desember 2018, Gedung Bidakara, Jakarta
  2. http://www.bnpb.go.id
  3. http://www.bmkg.go.id
  4. https://www.ojk.go.id
  5. http://www.munawarkasan.com/index.php/artikel-asuransi/54-menarik-pelajaran-asuransi-dari-gempa-jepang
  6. http:/ www.aaui.or.id
  7. https://www.liputan6.com
  8. http://www.idntimes.com
  9. https://www.cnbcindonesia.com