Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Institute of Compliance Professional Indonesia (ICoPI).
Ketua Komite Teknis Nasional 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

 

Judul di atas berasal dari dialog singkat antara sesama anggota Dewan Pengarah ICoPI pada tanggal 5 Mei 2019, yaitu antara penulis dengan Dr. Ketut Sendra yang sudah malang melintang di industri perasuransian sebagai praktisi, akademisi, dan penggiat bidang kompetensi manajemen risiko dan kepatuhan.

 

Hasil dialog memberikan perspektif menarik bagi penulis untuk berbagi pemahaman dengan anggota ICoPI sebagai garda terdepan penerapan manajemen kepatuhan di organisasi masing-masing.

 

Kepantasan berasal dari akar kata pantas yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ‘sesuai’ atau ‘sepadan’. Penggunaan kata pantas dan turunan informalnya menjadi ‘kepantasan’ (belum ada di dalam KBBI) merujuk pada penilaian seseorang terhadap kondisi atau situasi tertentu, yang dibuat berdasarkan ‘rasa’. Rasa dalam hal ini merujuk pada norma subyektif yang berakar dari nilai-nilai dasar orang tersebut. Sebagai contoh:
  • ‘Ibu tersebut pantas memakai kebaya merah’.
  • ‘Dia pantas memperoleh kenaikan pangkat’.
  • ‘Pantaslah dia menjadi atlet terpopuler’.

 

Kepatuhan berasal dari kata ‘patuh’ yang menurut KBBI berarti ‘taat pada’, merujuk pada kedisplinan seseorang. Kepatuhan berarti sifat patuh atau ketaatan terhadap rujukan tertentu yang umumnya sudah dibakukan. Beberapa contoh penggunaan kata patuh dan turunannya ‘kepatuhan’:
  • ‘Anjing yang setia itu selalu patuh pada perintah tuannya’.
  • ‘Gadis tersebut patuh pada perintah ibunya’.
  • ‘Pemerintah meminta kepatuhan pelaku industri terhadap semua regulasi yang ada’.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa pantas dan patuh perlu dipahami sebagai pembawa arti yang berbeda.

 

Pantas memerlukan dasar norma dalam bentuk ‘rasa’ bagi seseorang / situasi untuk dapat dikatakan ‘sesuai’ dan ‘sepadan’, sedangkan Patuh memerlukan rujukan yang telah dibakukan dalam suatu lingkungan tertentu. Bertutur kata atau bersikap ‘pantas’ di suatu lingkungan dengan norma tertentu bisa dianggap ‘tidak pantas’ di lingkungan normatif lainnya. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai dasar manusia yang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama lingkungan budayanya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa keharusan untuk disebut ‘pantas’ atau ‘tidak pantas’ cenderung bersifat subyektif.

 

Bila kita berbicara dalam konteks pengelolaan suatu organisasi, kepantasan menjadi hal yang relatif berbeda-beda dari suatu organisasi ke organisasi lainnya. Hal ini sangat wajar karena nilai-nilai dan budaya organisasi yang membentuk teropong penilaian ‘pantas dan kepantasan’ di suatu lingkungan perusahaan sejatinya berbeda juga antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, ‘pantas dan kepantasan’ tidak diatur formal oleh suatu organisasi. Dalam hal ini, standar pantas dan tidak pantas dijadikan rujukan informal dalam interaksi antar manusia dalam organisasi tersebut.

 

Di sisi lain, bila berbicara tentang ‘patuh’ dan ‘kepatuhan’ dalam suatu organisasi, kita membutuhkan rujukan spesifik yang formal dan baku sehingga kejelasan orientasi dan dasar konsistensi untuk ‘taat pada’ dapat dijaga dengan efektif dan lebih obyektif. Dalam hal ini, kepatuhan dalam organisasi perusahaan berorientasi pada kepatuhan eksternal dan kepatuhan internal:

 

Kepatuhan Eksternal adalah taat pada:
  1. Peraturan Umum; bentuknya adalah aturan dan peraturan dalam sistem hukum negara hukum tertentu. Contoh: Undang-Undang Perusahaan Terbatas, Undang-Undang Persaingan Usaha, Undang-Undang Perburuhan.
  2. Regulasi Industri; bentuknya adalah aturan dan peraturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban hukum bagi organisasi sebagai pelaku dalam industri yang mereka geluti. Contoh: Undang-Undang Perbankan untuk perusahaan perbankan dan Undang-Undang Perasuransian untuk perusahaan asuransi. Atau bentuk lain misal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang menjadi ‘lex specialist’ bagi industri yang diatur oleh mereka.
  3. Aturan Asosiasi; bentuknya adalah kesepakatan dan/atau konsensus antar pelaku industri yang diajadikan rujukan mengikat bagi anggota asosiasi industri tersebut.

 

Kepatuhan Internal adalah taat pada:
  1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan (AD/ART) yang menjadi dasar utama semua rujukan yang berlaku untuk suatu perusahaan.
  2. Peraturan Perusahaan (PP) yang umumnya berlaku bagi keseluruhan organisasi.
  3. Surat Keputusan; disingkat SK yang berlaku hanya untuk departemen atau unit yang tercakup dalam SK tersebut.
  4. Standard Operating Procedure; atau SOP berlaku sebagai rujukan pelaksanaan tugas/rangkaian tugas yang memerlukan konsistensi dan kedisiplinan pelakunya.
  5. Job Description; rujukan bagaimana suatu ‘kerja’ harus dilakukan oleh individu / jabatan tertentu, secara konsisten dan disiplin.

 

Berdasarkan hal di atas, organisasi perusahaan memerlukan pemastian keteraturan untuk kepatuhan mereka baik yang berorientasi eksternal maupun internal. Pelanggaran terhadap kepatuhan dapat berakibat fatal karena dapat dianggap melanggar hukum untuk orientasi eksternal, dan dapat dianggap melanggar aturan perusahaan yang berujung pada sanksi terhadap pelanggar.

 

Di sisi lain, kepantasan akan menjadi hal yang berkembang secara informal antar manusia dalam organisasi dan terjaga dalam sistem budaya organisasi perusahaan.
Walau hal-hal yang tidak pantas dapat membawa konsekuensi sosial terhadap seseorang, situasi tersebut tidak dapat dianggap melanggar aturan.

 

KESESUAIAN (CONGCRUENCE) ANTARA KEPATUHAN DENGAN KEPANTASAN
Ada baiknya bagi praktisi manajemen kepatuhan untuk mengases sejauh apa aturan dan peraturan yang ada di perusahaan mereka masing-masing, apakah sudah diserap sebagai hal yang ‘pantas’ oleh seluruh anggota organisasi?

 

Bila ada kesenjangan antar keduanya, misal bila beberapa hal yang diatur oleh perusahaan dianggap tidak pantas, maka potensi terjadinya ketidakdisiplinan dalam penerapan aturan akan memperoleh banyak tantangan. Hal ini dapat berujung pada terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan internal dan eksternal, serta dapat memicu peningkatan risiko ketidakpatuhan hukum perusahaan.

 

Sebaliknya, semakin sesuai (congcruent) kedua hal di atas, ini maka kedisplinan dan ketaatan anggota organisasi menjadi hal yang membudaya dan akan semakin disiplin dijalankan. Hal ini akan membuat pelaksanaan manajemen kepatuhan menjadi efektif dan faktor risiko ketidakpatuhan organisasi semakin mengecil.

 

Berdasarkan hal di atas, ada baiknya bagi pejabat kepatuhan organisasi perusahaan misal direktur kepatuhan untuk memastikan kesesuaian (congcruence) antara ‘kepantasan’ dan ‘kepatuhan’ dalam semua unsur program inisiasi, sosialisasi dan internalisasi manajemen kepatuhan mereka. Hasil akhir, kepatuhan menjadi budaya karena diyakini pantas.

 

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.