Penulis: Esther Roseline, S.H., CFE.
Deputy Director of Anti-Fraud & Anti-Corruption Consultant at Bibit Samad Rianto Center
Legal Services Director at Awesome Consulting

 

Sejak pengesahannya, Pasal 31 UU Bahasa (UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) telah menuai berbagai perdebatan di kalangan para sarjana dan praktisi hukum dalam hal komplikasi hukum yang mungkin timbul dari peraturan tersebut. Pasal 31 UU Bahasa mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam setiap nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan instansi pemerintahan, dan juga entitas swasta dan perseorangan warga Negara Indonesia. Pasal tersebut juga mengatur bahwa perjanjian yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa asing dan/atau bahasa Inggris. Susunan kata yang ambigu diperburuk dengan ketidakadaannya sanksi yang jelas membuat Pasal tersebut memicu banyak asumsi dan tafsiran berbeda, terutama mengenai akibatnya terhadap perjanjian dagang. Apakah kontrak yang dibuat dalam bahasa Inggris harus diterjemahkan dalam waktu yang bersamaan pada saat penandatanganan kontrak? Bolehkah para pihak memilih bahasa Inggris sebagai bahasa yang berlaku dalam perjanjian dua bahasa?

Meski sudah ada dua surat resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (M.HH.UM.01.01-35) dan Direktorat Jenderal Perundang – Undangan (PPE.2.PP.01.02-832) pada tahun 2009, tuntutan publik untuk kejelasan dan kepastian belum juga teredam. Dalam surat tersebut, Kementerian dengan jelas menyatakan bahwa atas dasar kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk memilih bahasa kontrak mereka sekaligus bahasa yang berlaku. Serupa dengan pernyataan tersebut, Dirjen Perundang – undangan mengafirmasi bahwa Pasal 31 hanyalah persyaratan formil, dan perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia tetap sah selama syarat sah perjanjian (Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) dipenuhi. Mendukung kedua pernyataan tersebut, Putusan No. 35/PDT.G/2010/PN.PRA. memutuskan bahwa sebuah perjanjian tidak dapat dikatakan batal demi hukum hanya karena perjanjian tersebut dibuat dalam bahasa Inggris tanpa terjemahan Indonesia, dan bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disepakati oleh para pihak. Terlepas dari hal itu semua, pada tahun 2015, kasus PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) v. Nine AM Ltd., menggegerkan publik internasional ketika Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan bahkan Mahkamah Agung memutuskan bahwa kontrak dagang internasional adalah batal demi hukum jika dibuat dalam bahasa Inggris tanpa bahasa Indonesia pada saat penandatanganan kontrak, atas dasar tidak adanya kausa halal yang merupakan salah satu syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPer. Putusan tersebut memicu banyak argumen dari berbagai sisi.

Menjadi permasalahan yang cukup serius, banyak penanam modal dan pebisnis global terheran – heran akan kewajiban bahasa dan putusan pengadilan tersebut. Sebuah pertanyaan penting mengikuti: Dimanakah terletak permasalahannya? Apakah terletak pada peraturannya atau pada penafsirannya (yaitu putusan Nine AM v. BKPL)?

Dari survei lapangan yang saya lakukan dengan responden 101 orang pengacara dari 62 kantor hukum dan perusahaan berbeda di Indonesia, sebuah hasil yang mengejutkan didapat: 37.6% mendukung putusan pengadilan yang menyatakan batal demi hukum kontrak berbahasa inggris atas dasar Pasal 31, 32.7% tidak setuju, dan 29.7% lainnya mengambil sikap netral. Ketidakadaannya sikap mayoritas menggambarkan bahwa benar – benar terdapat beragam interpretasi yang sangat membingungkan bahkan di antara pengacara di Indonesia. Menanggapi masalah ini lebih serius lagi, dalam hal isu domestik, apakah Pasal 31 akan menyebabkan perjanjian jual beli lisan sederhana dalam bahasa daerah dinyatakan batal demi hukum? Dalam arena internasional, dapat dibayangkan bahwa pelaksanaan otonomi pihak dalam melakukan pilihan forum dan pilihan hukum juga tidak akan mengecualikan para pihak dari kewajiban bahasa dalam kontrak dagang internasional yang melibatkan pihak Indonesia, terlepas dari adanya bahasa yang disepakati para pihak. Pertama, penafsiran literal Pasal 31 dapat mengimplikasikan adanya kewajiban menggunakan (bukan sekedar menuliskan) Bahasa Indonesia dalam perjanjian. Berarti, dalam peristiwa apapun, kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan Bahasa Indonesia, dan Bahasa Indonesialah yang harus berlaku dalam kontrak dua bahasa (interpretasi seperti ini secara jelas digunakan dalam Pasal 57 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Kedua, Latar Belakang Naskah Akademik UU Bahasa menuliskan bahwa UU tersebut mempunyai nilai yang sangat penting dan strategis dalam memelihara kesinambungan pelaksanaan Pembangunan Nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Dengan tegas juga ditulis bahwa adalah tujuan dari UU adalah untuk melindungi Bahasa Indonesia dari penggunaan bahasa Inggris yang semakin meluas dalam setiap lingkup aktivitas manusia, termasuk sektor ekonomi, dan bahwa Bahasa Indonesia harus memperoleh kembali eksistensinya agar dapat menjadi bahasa yang populer. Karena itu, Pasal 31 dapat diartikan sebagai kaidah memaksa yang mengandung norma ketertiban umum yang cukup kuat untuk melarang transaksi yang melanggar, bahkan dapat diterapkan pada hubungan internasional, dan yang mana tidak dapat diperjanjikan sebaliknya oleh para pihak. Atas dasar pelanggaran UU Bahasa, perjanjian arbitrase bahkan dapat dinyatakan batal oleh pengadilan, atau putusan arbitrase dinyatakan tidak dapat dilaksanakan.

Pada akhirnya dapat dilihat bahwa permasalahannya terletak pada sumber semua kesimpangsiuran – yaitu Pasal 31 itu sendiri. Akan ada lebih banyak ‘kejutan’ lagi yang dapat timbul jika ketidakjelasan ini tetap dipertahankan. Sebagai contoh, berhubung peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia mengijinkan dokumen berbahasa asing diajukan ke persidangan, putusan arbitrase nasional dapat dinyatakan batal oleh pengadilan Indonesia karena putusan tersebut telah menyatakan sah perjanjian yang seharusnya tidak sah menurut UU Bahasa (pada kenyataannya dalil ini telah digunakan oleh pemohon dalam Putusan No. 791/Pdt.G/2014/PN.Jkt.Sel.) Meskipun Mahkamah Agung selama ini telah menafsirkan secara limitatif syarat-syarat permohonan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase, bukanlah hal yang mustahil bahwa di masa yang akan datang hal ini akan berubah, sebagaimana syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPer yang selama ini dikatakan limitatif telah seakan – akan ditafsirkan secara “berbeda” dalam perkara Nine AM v. BKPL.

Pasal 31 UU Bahasa telah membuka pintu bagi segala bentuk multitafsir yang dapat digunakan sesuai kepentingan, dan dengan demikian membuka peluang untuk korupsi merangkak masuk, merampok kepastian hukum dari masyarakat, dan melegitimasi itikad buruk. Jika tujuannya adalah untuk melindungi pihak Indonesia yang lebih lemah, maka lembaga kontrak yang ada tanpa UU Bahasa sudah memberikan perlindungan yang cukup. Seseorang dapat mengajukan pembatalan kontrak atas dasar kekeliruan yang mempengaruhi unsur sepakat dalam syarat sah perjanjian, jika kekeliruan tersebut disebabkan oleh bahasa asing yang tidak dimengerti yang telah dipaksakan terhadap dirinya. Seandainya perlindungan ini masih belum cukup, solusi yang lebih baik adalah dengan lebih mengusahakan agar seluruh lapisan masyarakat dapat terjamah oleh bantuan hukum yang ada. Di sisi lain, jika tujuannya adalah untuk memajukan penggunaan Bahasa Indonesia, adalah lebih tepat untuk mengkonstruksi sebuah strategi yang komprehensif dalam membangun dari bawah ke atas perspektif positif masyarakat terhadap Bahasa Indonesia (seperti kampanye dan pembangunan ekonomi yang signifikan). Sekiranya kewajiban bahasa ini ingin dipertahankan, adalah teramat penting agar penjelasan dan sanksi yang jelas dapat diregulasi demi mempersempit konsekuensi hukum yang dapat diprediksi. Karena sangat tidak masuk akal untuk mempertahankan sebuah hukum dalam kondisi dimana hukum tersebut dapat menjadi bumerang melawan tujuan – tujuan hukum itu sendiri.