Penulis : Agustinus Haryono
Sekretaris Jenderal ICoPI

 

Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali pada tanggal 21 Desember 2016 menandatangani Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Peraturan baru tersebut diatas pastinya akan mendorong Korporasi yang ada di Indonesia melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan penerapan Tata Kelola, Manajemen Risiko dan Kepatuhan atau yang lebih dikenal dengan GRC (Governance, Risk Management and Compliance), serta tidak membiarkan tindak pidana terjadi dalam Korporasi yang mereka kelola.

Penerapan GRC di Korporasi sudah menjadi keharusan, agar Direktur, Komisaris dan/atau Korporasi terhindar dari aturan mengenai Tindak Pidana oleh Korporasi. Hal ini karena dalam PERMA Nomor 13 Tahun 2016 tersebut diatur ketentuan bahwa apabila Perusahaan/Korporasi membiarkan ada tindak pidana dan/atau tidak melakukan langkah-langkah pencegahan, maka Korporasi tersebut dinilai melakukan kesalahan.

Sebagaimana kita ketahui, sudah ada beberapa Korporasi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka bahkan sudah ada yang dihukum, sebut saja PT Duta Graha Indah (DGI) Tbk., yang kini telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) Tbk.  Korporasi ini menjadi perusahaan pertama yang telah divonis Pengadilan selama KPK berdiri. PT NKE didenda Rp. 700 Juta, uang pengganti Rp. 85,49 miliar serta pencabutan hak lelang selama 6 bulan.

Selain PT NKE yang telah divonis Pengadilan, saat ini KPK tengah memproses setidaknya tiga Korporasi lainnya sebagai tersangka yaitu PT Nindya Karya, PT Tuah Sejati terkait kasus dugaan korupsi pembangunan dermaga bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang, Aceh tahun anggaran 2006-2011 dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp. 313 miliar. Juga KPK menjerat PT Putra Ramadhan atau PT Tradha dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Berkaca pada sudah banyaknya Korporasi yang terjerat kasus hukum pasca berlakunya PERMA Nomor 13 Tahun 2016, maka sudah seharusnya Korporasi berbenah diri dan mengantisipasi agar terhindar dari masalah hukum, dengan salah satu kunci adalah penerapan GRC yang terpadu. Prinsip Governance menjadi dasar dan mengikuti proses manajemen risiko korporasi dan kepatuhan dalam penerapannya. Di Indonesia, regulasi yang mengatur mengenai GRC sudah banyak, baik yang diatur dalam peraturan perundangan pada umumnya maupun regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada khususnya. Demikian juga di badan-badan milik negara, sebagai contoh SKK Migas pada bulan Maret 2018 telah mengkomunikasikan bahwa mereka telah memiliki Sistem Manajemen Anti Penyuapan.

Sudah saatnya juga penerapan GRC di Korporasi dilakukan dengan sepenuh hati, tidak hanya sebagai formalitas ataupun sebatas pelengkap yang hanya dipandang sebelah mata. Semoga Korporasi di Indonesia termasuk didalamnya Badan Usaha Milik Negara dan Perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia menerapkan program GRC yang efektif, baik dan terpadu.

Pada akhirnya aturan yang tergolong relatif baru tentang Tindak Pidana Korporasi yang diatur dalam PERMA Nomor 13 Tahun 2016 akan lebih mendorong Korporasi di Indonesia untuk meningkatkan kepatuhan dan tata kelola yang baik serta tidak membiarkan tindak pidana terjadi dalam Perusahaan. Semoga.

 

 

DAFTAR REFERENSI

  1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
  2. Berbagai Berita dari Surat Kabar Harian Media Cetak dan Media Online, antara lain Harian Bisnis Indonesia, Harian Kompas, Media Hukum Online.