Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengawas ICoPI
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

Artikel disusun dari hasil diskusi panel dengan judul di atas pada tanggal 27 Februari 2019, bertempat di Financial Club, Gedung CIMB Niaga Jakarta – Indonesia.

Walaupun tidak spesifik, diskusi panel terinspirasi dari prahara yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya dimana perusahaan tersebut gagal bayar klaim sebesar Rp 802 milyar. Ditengarai bahwa gagal bayar klaim ini terjadi karena kesalahan investasi korporasi.

Pertanyaan yang timbul dan sekaligus menjadi topik diskusi panel adalah sejauh apa pertanggungjawaban hukum direksi dan atau dewan komisaris atas kesalahan investasi yang dilakukan oleh korporasi.?

Paparan dari panelis diberikan sesuai dengan urutan sebagai berikut:

  1. Topik ‘Tanggung Jawab Direksi dalam pengambilan keputusan investasi’, disajikan oleh Indra Situmeang – mantan direktur teknik PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
  2. Topik ‘Pengelolaan portofolio investasi dari perspektif governance’, disajikan oleh Hotbonar Sinaga – Anggota KNKG dan Pengamat Asuransi.
  3. Topik ‘Peran strategis OJK dalam mengawasi pengelolaan perusahaan IKNB’, disajikan oleh Indra Safitri – Konsultan Hukum, Arbitrase dan Praktisi Governance.

Melalui penyajian materi dan diskusi yang berlangsung dalam suasana kondusif, beberapa butir pembelajaran dapat dipetik bagi praktisi manajemen kepatuhan, di antaranya sebagai berikut:

  • Prahara yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya berakar dari permasalahan masa lalu dimana pengawasan industri perasuransi belum seperti sekarang dalam era OJK (Otoritas Jasa Keuangan), terutama adanya peraturan permodalan minimum yang tidak boleh kurang dari 120% RBC (Risk Based Capital) dengan pemantauan ketat dari otoritas. Peraturan tersebut memastikan perusahaan asuransi memiliki cadangan cukup untuk menghadapi klaim nasabah selama periode berlakunya polis.
  • Permasalahan masa lalu umumnya adalah jumlah cadangan perusahaan asuransi jiwa tidak memadai sehingga rentan terhadap klaim. Cadangan tidak memadai terjadi karena jumlah yang dialokasikan untuk cadangan klaim dari premi polis terkait tidak cukup besar, bahkan cenderung seminimum mungkin. Perusahaan asuransi umumnya berharap klaim dari nasabah lama dapat tertutup dari penerimaan premi polis nasabah baru. Praktik ini riskan bilamana jumlah premi nasabah baru tidak tumbuh sebagaimana diharapkan dan pada saat yang sama klaim terjadi dari nasabah lama.
  • Sebelum era OJK, masih memungkinkan bagi perusahaan asuransi untuk melakukan penempatan investasi dana cadangan mereka ke dalam pilihan investasi yang memiliki volatilas tinggi, misal pemilikan saham dari perusahaan yang tidak memiliki rating baik dengan harga saham yang dapat melonjak naik dan turun secara signifikan sewaktu-waktu. Hal ini sangat riskan bagi perusahaan asuransi bila harga saham turun drastis sehingga nilai investasi mereka tidak cukup untuk memenuhi cadangan klaim. Kasus ini terjadi di PT Asuransi Jiwasraya yang melakukan investasi saham di perusahaan tier 3 yang secara inheren memiliki volatilitas dan risiko tinggi.
  • Apakah direksi bertanggung jawab terhadap kesalahan investasi? Bila merujuk pada Undang-Undang Perusahaan Terbatas (UUPT) tahun 2007 kemungkinan besar mereka tidak dapat dituntut bertanggung jawab berdasarkan doktrin ‘business judgement rules’ yaitu pengambilan keputusan yang didasarkan pada pertimbangan bisnis dengan itikad baik dan memenuhi kepatuhan terhadap semua prosedur yang dipersyaratkan. Tetapi, bila kesalahan investasi mengandung unsur ‘fraud’ dan/atau ada prosedur yang dilanggar misal: analisis dan mitigasi risiko yang diharuskan, maka direksi harus bertanggung jawab terhadap kesalahan investasi tersebut.
  • Apakah direksi lama yang sudah memperoleh ‘acquit de charge’ untuk masa kepengurusan mereka masih dapat diminta pertanggung jawaban untuk kesalahan investasi pada saat mereka masih menjabat.? Jawabannya ‘ya, dapat’ karena ‘acquit de charge’ adalah pengakuan dari RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) bahwa direksi sudah menjalankan tugas dan tanggung jawabanya sesuai dengan amanah dan semua aturan main yang diharuskan dalam periode tertentu. Bila ternyata ada amanah dan/atau aturan main yang dilanggar dan disembunyikan oleh direksi, atau bahkan ada ‘fraud’ yang terungkap, maka direksi lama dapat diminta pertanggung jawabannya.

Sementara masih banyak butir-butir pembelajaran lain dari kasus PT Asuransi Jiwasraya, di bawah ini adalah beberapa masukan, saran, harapan dari panelis:

  • Idealnya, suatu perusahaan asuransi menjalankan ‘Actuarial Control Cycle’ (ACC) setidaknya satu kali setahun. ACC melakukan tiga hal: a) tinjauan apakah kontrol yang dirancang/ada jalan dengan efektif, b) apakah perlu ada ‘pricing evaluation’, dan c) memastikan ‘kesehatan’ keuangan perusahaan termasuk cadangan kewajiban klaim. Keberadaan ACC akan membuat perusahaan asuransi selalu waspada dan dapat tetap sehat dalam memenuhi kewajibannya.
  • Penerapan tatakelola yang baik, dan manajemen risiko yang efektif melalui pendekatan ‘three lines of defense’ akan memungkinkan dewan komisaris melakukan pengawasan aktif melalui komite pemantau risiko dan komite audit, terutama yang terkait dengan likuiditas dan jumlah cadangan klaim.
  • Anggota direksi dan dewan komisaris harus memiliki kompetensi manajemen risiko dan komitmen untuk menjalankannya secara konsisten.

Sebagai penutup, moderator Haryono – Pengurus LKDI memberikan benang merah sebagai berikut:

  • Kunci untuk mengantisipasi agar hal sama yang dihadapi oleh PT Asuransi Jiwasraya tidak terjadi lagi, adalah penerapan GRC (Governance, Risk, Compliance) terpadu.
  • ‘Corporate Governance’ mengatur tata tertib dalam perusahaan dengan tiga organ utama (RUPS, Dewan Komisaris, Direksi) dan para pemangku kepentingan lainnya dalam arah dan kebijakan. Prinsip ‘Governance’ menjadi dasar dan mengikuti proses manajemen risiko korporasi dan kepatuhannya.
  • Kegagalan memenuhi ketiga hal di atas yaitu GRC, dapat menimbulkan bencana bagi korporasi dengan contoh lama adalah ENRON di Amerika Serikat  dan contoh baru adalah PT Asuransi Jiwasraya di Indonesia.
  • Salah satu bentuk penerapan GRC paling umum adalah ‘Three Lines of Defense’.
  • Walau kasus PT Asuransi Jiwasraya mulai dari risiko strategis, risiko operasional, ALM (Asset and Liability Management) dan lain-lainnya terlihat sangat kompleks, tetapi pada dasarnya dipicu dari tidak jalannya penerapan GRC mereka secara efektif.
  • Akhir kata, moderator mengingatkan semua peserta diskusi panel bahwa asas tanggung renteng berlaku baik bagi semua anggota direksi dan dewan komisaris. Direksi berbagi akuntabilitas kepengurusan organisasi, dan dewan komisaris berbagi akuntabilitas kepengawasan.
  • Hal ini patut menjadi renungan kita semua terutama bagi praktisi dan profesional bidang manajemen kepatuhan untuk memastikan direksi dan dewan komisaris organisasi dimana kita berkarya secara konsisten mengedepankan kepatuhan mereka terhadap semua aturan dan peraturan yang relevan, baik yang berasal dari regulasi eksternal maupun internal.