Penulis: Dr. Antonius Alijoyo, ERMCP, CERG
Ketua Dewan Pengarah Institute of Compliance Professional Indonesia (ICoPI)
Ketua Komite Teknis 03-10: Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan – Badan Standarisasi Nasional (BSN) Indonesia.

 

Saat penulis berdiskusi dengan beberapa praktisi direktur kepatuhan dan ‘Chief Compliance Officers (CCOs)’ di Singapura, ada satu topik mencuat dalam bahasan yaitu sejauh apa fungsi kepatuhan dalam perusahaan masih dibutuhkan atau apakah akan menjadi usang dalam era digital?

Bila masih dibutuhkan, apa yang harus berubah/diubah agar pengelolaan manajemen kepatuhan tetap relevan dan kontekstual, bahkan dapat menjadi lebih efektif dan bernilai tambah lebih besar lagi?

Perbincangan terpicu dengan adanya rekan diskusi yang menyampaikan hasil observasi selama satu tahun terakhir, di antaranya adalah:

  1. Pembuatan kontrak melalui penggunaan AI (Artificial Intelligence) yang dipadukan dengan pangkalan data kumpulan regulasi (‘regulatory database’) yang selalu terkinikan dan terus terlengkapi secara otomatis dan teratur.
  2. Semakin banyak penggunaan robot dalam pelayanan jasa dan proses produksi dalam perusahaan. Fenomena ini akan meminimalkan deviasi perilaku yang berpotensi melanggar aturan, dan akhirnya meminimalkan kebutuhan fungsi kepatuhan itu sendiri.

Tidak ada jawaban tegas dari semua anggota diskusi panel terhadap pertanyaan apakah fungsi kepatuhan akan usang atau tidak. Yang timbul ke permukaan adalah diskusi tentang seberapa siap fungsi kepatuhan dalam era digital?

Bagi yang tidak siap, mereka akan segera usang, dan bagi yang siap atau ingin segera siap, timbul pertanyaan lanjutan: apa yang mesti dipersiapkan?

Di bawah ini adalah ringkasan sederhana dari hasil survei mengenai perkembangan fungsi kepatuhan dalam era digital yang dilakukan oleh beberapa organisasi global di antaranya adalah survei oleh Accenture dengan majalah Forbes yang mengeluarkan hasil riset ‘How The Compliance Function is Evolving In 2018’:

  1. Fungsi kepatuhan tidak dapat lagi berorientasi pada proses manual yang mengandalkan jumlah karyawan untuk peningkatan efektivitas mereka. Hal ini diperlukan karena tuntutan terhadap kinerja, kompetensi, dan kualitas kepatuhan meningkat, sedangkan jumlah pelaksana kepatuhan terus menurun.
  2. Prioritas investasi penggunaan teknologi untuk peningkatan kinerja dan efektivitas kepatuhan menunjukkan kenaikan di dua tahun terakhir (catatan: 2016-2017) dengan tren terus meningkat.
  3. Terjadi celah besar antara kompetensi praktisi manajemen kepatuhan yang tersedia saat ini dengan yang dibutuhkan. Celah ini mengakibatkan lambatnya atau tercegahnya fungsi kepatuhan untuk mengerti dan/atau memahami ekosistem risiko yang dihadapi organisasi dan keterkaitan antara satu risiko dengan risiko lain secara keseluruhan.
  4. Isu mengenai kualitas data menjadi hambatan terbesar untuk pemanfaatan kapabilitas teknologi. Hal ini menjadi penghalang bagi organisasi untuk memenuhi mandat yang diterima, dan membutuhkan pendekatan dan budaya berbeda dalam fokus dan kualitas data jangka panjang.
  5. Celah perbedaan kompetensi dan tantangan ketersediaan serta kualitas data akan menghambat pendekatan pro-aktif horison pengelolaan risiko secara umum. Kepatuhan cenderung terlalu fokus pada risiko-risiko utama hari ini misal: risiko siber, kejahatan atau kecurangan keuangan, dan tidak cukup memperhatikan dan mempersiapkan organisasi terhdap risiko yang akan segera datang, misal: menjamurnya mata-uang virtual, pendekatan bertanggung jawab untuk penggunaan Kecerdasan Buatan, serta tuntutan praktik tatakelola lingkungan dan sosial.

Dari hasil survei di atas dan beberapa rujukan perkembangan akhir-akhir ini, fungsi kepatuhan diharapakan semakin proaktif dan sedini mungkin membangun kompetensi yang tidak hanya bermanfaat untuk penanganan permasalahan saat ini saja, tetapi juga mampu memberikan nilai tambah dengan membuat organisasi siap dalam era kepatuhan digital.

 

KEPATUHAN ERA DIGITAL

Di satu sisi, tuntutan dan kebutuhan praktik kepatuhan berorientasi digital tidak dapat dipisahkan dengan fenomena tren digitalisasi yang terus meningkat beberapa tahun belakangan. Di sisi lain, kepercayaan diri banyak oganisasi masih rendah akan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan dan harapan serta persyaratan kepatuhan dalam era digital tersebut.

Sebagaimana dilansir oleh majalah Forbes, banyak organisasi mengungkapkan fakta dan keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas menanganani persyaratan kepatuhan dalam era digital masih rendah. Hal ini juga tersirat dari hasil survei majalah Forbes lebih lanjut yang menunjukkan angka hanya 32% Chief Compliance Officer (CCO) dari responden meyakini bahwa sistem Teknologi Informasi mereka telah atau akan sejalan dengan persyaratan kepatuhan era digital.

Mayoritas responden ragu-ragu, tidak yakin dan bahkan khawatir terhadap fenomena meningkatnya penggunaan teknologi informasi (TI) dan digitalisasi dalam organisasi mereka yang secara inheren meningkatkan risiko kepatuhan.

Di satu sisi, mereka paham bahwa investasi organisasi dalam TI akan membuat perusahaan tumbuh dan bertambah efisien, namun di sisi lain mereka juga paham dan khawatir bahwa risiko inheren kepatuhan akan meningkat seiring dengan digitalisasi. Kekhawatiran timbul karena mereka yakin dampak digitalisasi tersebut akan membuat organisasi terpapar risiko kepatuhan yang jauh lebih tinggi bila tidak diiringi dengan langkah-langkah antisipatif dan kapabilitas fungsi kepatuhan yang memadai.

Menjawab kekhawatiran tersebut, ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan oleh praktisi kepatuhan untuk segera dimulai:

  1. Membuat peta jalan kompetensi apa yang dibutuhkan seiring dengan tren perkembangan dan pertumbuhan regulasi terkait teknologi dan digitalisasi.
  2. Membangun ‘digital compliance culture’ dengan memasukkan komponen ‘workflow’ kepatuhan dalam semua dan setiap proses bisnis.
  3. Menggunakan alat bantu aplikasi ‘RegTech’ yang dapat terintegrasikan dengan sistem manajemen lainnya. Penggunaan RegTech dapat melalui piranti lunak tertentu dan jasa ‘Cloud’, yang akan mempermudah proses pengelolaan kepatuhan karena dapat mengotomatisasi pelaporan organisasi dan dokumentasi, serta selalu terkinikan terhadap regulasi yang berkembang.

Selain langkah di atas, akuntabilitas CCO dan peran serta kontribusi mereka perlu dipertegas agar terintegrasi dalam proses pengambilan keputusan strategik organisasi, misal:

  • Dalam perencanaan kepatuhan organisasi sewaktu memasuki pasar baru atau diversifikasi produk.
  • Penggunaan ‘Data Analytic’ untuk memberikan petunjuk adanya kemungkinan timbul persyaratan kepatuhan yang mempengaruhi strategi perusahaan jangka pendek dan jangka panjang.
  • Pengkoordinasian manajemen risiko dan kontinunitas bisnis dalam kasus terjadi suatu krisis atau insiden pelanggaran kepatuhan yang berdampak besar terhadap perusahaan.

Salah satu hasil riset lain, yaitu dari Deloitte, menyatakan bahwa lebih dari separuh responden menunjukkan perubahan tingkat senioritas fungsi kepatuhan. Kalau dahulu ‘Chief Compliance Officer’ hanya berada di bawah tingkat direktur atau C-Level, saat ini ‘Chief Compliance Officer’ melapor langsung kepada ‘Chief Executive Officer’ (CEO). Padanan dari hasil riset tersebut untuk konteks Indonesia adalah meningkatnya peran ‘compliance officer’ dari tingkat kepala divisi menjadi tingkatan direktur.

Pergeseran dan peningkatan peran CCO dalam era digital adalah hal yang baik agar organisasi lebih antisipatif dan pro-aktif, tetapi juga memberikan pesan kepada para CCO dan praktisi kepatuhan pada umumnya untuk perlu dan harus memiliki tingkat kemampuan baru yang relevan sedemikian rupa agar dapat efektif berkontribusi dalam pengambilan keputusan strategik organisasi di era digital.

 

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat.