Penulis :Drs. Agus Subrata, MM, AAAIK, QRGP, ANZIIF ( Associate )
Wakil Ketua & Dosen  Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti
Komisaris Independen PT. Bess Central Insurance
Pengurus ICoPI

 

Kasus Gagal Bayar Jiwasraya

Industri Keuangan Nasional akhir-akhir ini dihebohkan dengan kasus gagal bayar perusahaan asuransi plat merah PT. Asuransi Jiwasraya ( Jiwasraya ) yang merupakan perusahaan asuransi BUMN bidang asuransi terbesar. Kejaksaan Agung mengungkapkan potensi kerugian negara dari kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa mencapai Rp 17 triliun dan besaran nilai yang sesungguhnya sedang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nilai tersebut berasal dari penelaahan berkas selama 10 tahun, dari 2008 hingga 2018.

Gagal bayar Asuransi Jiwasraya sebenarnya terjadi pada salah satu produk unggulannya yang bernama JS Saving plan. JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa sekaligus investasi yang ditawarkan melalui perbankan atau bancassurance. Berbeda dengan produk asuransi unit link yang risiko investasinya ditanggung pemegang polis, JS Saving plan merupakan investasi non unit link yang risikonya sepenuhnya ditanggung perusahaan asuransi. JS Saving Plan menawarkan jaminan return yang sangat tinggi dengan periode pencairan setiap tahun. Nilai return ini jauh lebih tinggi atau hampir dua kali lipat daripada bunga yang ditawarkan deposito bank yang saat itu besarannya di kisaran 5-7 persen. . Tercatat ada 17.000 pemegang polis JS Saving Plan. Adapun total pemegang polis Jiwasraya secara keseluruhan termasuk pemegang polis produk lainnya mencapai 7 juta pemegang polis.

Beberapa dugaan penyebab gagal bayarnya Jiwasraya diantaranya : Produk-produk yang merugi ( negative spread dan underpricing, harga kemurahan ), kinerja pengelolaan aset yang rendah, kualitas aset investasi dan non investasi yang kurang likuid, sistem pengendalian perusahaan yang masih lemah, tata Kelola perusahaan yang kurang baik, sistem informasi yang tidak andal, kantor cabang yang tidak produktif, biaya operasional yang tidak efisien, akses permodalan yang terbatas, kurangnya inovasi di bidang produk dan layanan, kualitas SDM asuransi yang terbatas, budaya kerja yang kurang professional, sarana dan prasarana kerja yang belum modern.

 

Sejarah Panjang Jiwasraya

Jiwasraya dibangun dari sejarah teramat panjang. Usianya sudah lebih dari 160 tahun,  bermula dari NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859, yang berdiri pada 31 Desember 1859. NILLMIJ adalah asuransi jiwa yang pertama kali ada di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) didirikan dengan Akte Notaris William Hendry Herklots Nomor 185. Tanggal 17 Desember 1960 NILLMIJ van 1859 dinasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1958 dengan mengubah namanya menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera. Setelah itu, beberapa kali PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera berganti nama menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera, Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera. Hingga pada 21 Agustus 1984 berubah menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Sangat disayangkan dengan perjalanan sejarah korporasi yang panjang ini dan sudah menjadi asset negara,  Jiwasraya harus ambruk tak berdaya hanya karena tata kelola perusahaan tidak dijalankan dengan benar. Dampak dari gagal bayar Jiwasraya bisa mempengaruhi industri keuangan yang sangat besar khususnya di industri perasuransian. Kasus ini menjadi warning kepada pelaku bisnis perasuransian agar konsisten menjalankan regulasi jasa keuangan. Saat ini regulator bidang keuangan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ).

 

Peran Otoritas Jasa Keuangan

Kasus gagal bayar Jiwasraya selalu dikaitkan dengan peran OJK sebagai oritas pengawas lembaga keuangan.  Seperti diketahui, dalam menjalankan lembaganya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

  1. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
  2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
  3. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mempunyai tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, dan sektor Institusi Keuangan Non bank (  IKNB) .

Dilihat dari tugasnya sebagai pengawas kegiatan jasa keuangan, maka keberadaan OJK dalam kasus gagal bayar Jiwasraya banyak dipertanyakan publik. Terlebih kasus ini sebenarnya sudah terdeteksi beberapa tahun lalu atau cukup memakan waktun yang panjang untuk diawasi. Namun demikian terlepas dari opini-opni publik yang masih perlu diuji kebenarannya, secara fundamental kasus gagal bayarnya Jiwasraya ini karena penerapan Good Corporate Governance ( GCG ) dalam mengelola perusahaan tidak diterapkan dengan baik dan benar oleh pimpinan Jiwasraya sesuai dengan aturan yang sudah ada yaitu POJK Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian

 

Tata Kelola Perusahaan Asuransi

Dalam POJK Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian disebutkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan salah satu pilar dalam membangun kondisi perekonomian yang sehat. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik berkaitan erat dengan kredibilitas perusahaan yang menjalankan serta iklim perekonomian di suatu negara. Pesatnya perkembangan industri perasuransian harus didukung dengan iklim yang kondusif. Dalam rangka menunjang pencapaian iklim usaha yang kondusif serta persaingan usaha yang sehat, maka penting bagi industri perasuransian untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik oleh industi perasuransian tersebut menjadi salah satu bagian penting dalam menangani risiko. Apabila penerapapan tata kelola Perusahaan Perasuransian dapat berjalan dengan baik, maka manajemen risiko juga akan berjalan dengan efektif.

Pelaksanaan Good Corporate Governance perusahaan paling tidak harus memperhatikan beberapa hal, antara lain :

  • Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris
  • Kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite Audit;
  • Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan eksternal;
  • Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal;
  • Rencana strategis Perseroan;
  • Pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perseroan.

Apabila Asuransi Jiwasraya sebelumnya sudah konsisten mejalalankan tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan peraturan yang sudah ada maka kecil kemungkinan terjadi kasus gagal bayar yang nilainya sangat besar ini. Dampak gagal bayar Jiwasraya disinyalir berdampak massive dan sistemik. Bagi Pelaku bisnis atau seluruh stakeholder jasa keuangan, kasus jiwasraya ini menjadi peringatan serius tentang pentingnya tata kelola perusahaan yang baik dan benar.